Wahyu Nyaman Muhammad

Orang Muslim percaya bahwa Quran adalah perkataan final Allah kepada umat manusia dan itu merupakan tuntunan iman dan praktik yang memadai bagi orang mulai dari Amerika Selatan hingga ke Cina. Sesungguhnya Allah menyatakan bahwa “tidak ada sesuatupun yang dihilangkan dari kitab ini” (Quran 6:38).

Namun, dalam kesia-siaan orang Muslim mencari kalimat Syahadat (pengakuan iman Muslim), ke-5 pilar Islam, berapa sering mereka harus bersembahyang dan banyak informasi untuk hal-hal krusial lainnya dalam halaman-halaman Quran. Walau sedemikian nyatanya penghilangan ini dari “catatan komplet” , namun Allah mempunyai waktu untuk menyelesaikan masalah-masalah domestik dan masalah-masalah lainnya yang dialami satu orang yaitu Muhammad! Sesungguhnya, jika kita memeriksa apa yang disebut literatur Asbab al-Nuzul (situasi pewahyuan), dengan segera menjadi jelas bahwa Allah senantiasa siap untuk menggunakan firman kekal-Nya untuk sedapat mungkin memudahkan hidup sang nabi-Nya.

Sebelum kita melihat contoh-contoh spesifik wahyu yang datang pada waktunya, hendaknya diingat bahwa beberapa implikasi dari teks-teks ini akan didiskusikan dengan lebih terperinci dalam bab-bab kemudian. Untuk saat ini, fokus kita hanyalah bagaimana wahyu-wahyu itu nampaknya telah dirancang sedemikian sehingga Muhammad dapat lolos dari kesesakan:

Muhammad mendapat pengecualian perihal batasan jumlah wanita yang dapat dinikahinya

Dalam Quran 4:3 dinyatakan bahwa orang Muslim dapat menikahi hingga 4 wanita. Untuk berbagai alasan (yang akan dianalisa dalam bagian 7.5), Muhammad ingin menikahi lebih dari 4 wanita. Allah yang selalu melakukan kebaikan lalu menurunkan wahyu yang menyatakan bahwa batasan 4 hanyalah untuk orang Muslim awam. Allah mengatakan pada Muhammad bahwa ia dapat menikahi berapapun wanita yang ia inginkan. Diperjelas bahwa hal istimewa ini adalah “...pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin”. (Quran 33:50)

Muhammad dikecualikan dari kewajiban memperlakukan para istrinya dengan adil

Dalam ayat yang sama yang dikutip di atas (Quran 4:3), dinyatakan bahwa orang-orang yang beristri banyak harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Muhammad mengalami hal ini sebagai beban yang sangat berat, terutama karena ia mulai mengembangkan favoritisme di antara para istrinya. Sekali lagi, Allah melibatkan diri dan meloloskannya dari kewajiban untuk memperlakukan para istrinya dengan adil, pada dasarnya mengatakan pada nabi bahwa ia boleh memperlakukan mereka sesuka hatinya dan bahwa ia dapat “menunda” dan “menerima” mereka seturut keingiannya sendiri (Quran 33:51 50).

Muhammad mendapatkan dispensasi khusus yang mengijinkannya menikahi istri dari anak angkatnya

Kisah pernikahan Muhammad dengan Zainab, yang adalah istri anak angkatnya yaitu Zaid, adalah situasi lainnya dimana Allah menggunakan Quran untuk menolong Muhammad keluar dari kesesakan. Berdasarkan tradisi Muslim, Muhammad pergi ke rumah Zaid untuk mencarinya di suatu malam. Ketika tiba disana, ia hanya mendapati Zainab dalam keadaan setengah berpakaian. Muhammad bergegas pergi, namun nampaknya sejak saat itu keinginan untuk menikahi Zainab telah tertanam dalam dirinya. Zaid, yang jelas menyadari kemana angin bertiup, menceraikan istrinya, agar Muhammad dapat menikahinya. Ini menimbulkan keresahan besar di kalangan para pengikutnya, banyak yang tindakannya ini sebagai perbuatan inses. Betapa nyamannya! Allah segera turut campur dengan wahyu spesial lainnya, memperjelas bahwa ketika para anak angkat “telah selesai” dengan istri-istri mereka, maka para ayah angka boleh menikahi mereka dan barangsiapa mempertanyakan aturan ini, mempertanyakanAllah! (Quran 33:37).

Allah menyelesaikan pertikaian domestik bagi Muhammad

Pada suatu kesempatan, Muhammad berhubungan seks dengan seorang budak (Maryam orang Koptik) yang belum ia nikahi. Istrinya (Hafsa) menjadi sangat marah karena malam itu adalah gilirannya.  Muhammad berjanji tidak akan menyentuh Maryam lagi jika Hafsa tutup mulut. Namun ia tidak tutup mulut, lalu timbullah skandal. Allah yang selalu setia turun tangan untuk membereskan masalah (Quran 66:1-5). Ia memulai:

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu... “ (Quran 66:1) dan berlanjut mengatakan bahwa Muhammad tidak terikat dengan sumpah-sumpahnya. Perang di jalan mengatakan kepada mereka agar mereka membereskan diri atau Muhammad akan menceraikan semua istrinya dan menikahi perempuan-perempuan yang lebih taat!

Allah mengubah Quran langsung di tempat sebagai tanggapan atas pertanyaan yang diajukan Muhammad

Dalam Sahih Bukhari, kumpulan hadith Sunni yang paling dihormati, kita membaca:

“Ada diwahyukan: ‘Tidaklah setara orang-orang beriman yang duduk (di rumah) dan mereka yang berjuang dan berperang di Jalan Allah’. (4.95) Nabi berkata, ‘Panggilah Zaid kepadaku dan biarlah ia membawa papan, botol tinta, dan tulang bahu (atau tulang bahu dan botol tinta)’. Kemudian ia berkata, ‘Tulislah: ‘Tidaklah setara orang-orang beriman yang duduk ...’, dan pada saat itu ‘Amr bin Um Maktum, si buta, sedang duduk di belakang nabi. Ia berkata, “Wahai Rasul Allah! Apakah perintahmu bagiku (berkenaan dengan ayat di atas) karena aku adalah seorang buta?”

Jadi, alih-alih ayat di atas, ayat berikut ini diwahyukan:

“Tidaklah setara orang-orang beriman yang duduk (di rumah) kecuali mereka yang cacat (karena cedera atau buta atau lumpuh, dan sebagainya) dan mereka yang berjuang dan berperang di Jalan Allah”. (4.95) (Sahih Bukhari 6.61:512).

Disini kita mendapat contoh bagaimana Firman Allah yang semestinya kekal diubah dalam sekejab sebagai akibat dari keinginan Muhammad untuk mengakomodir para pengikutnya yang cacat. Walaupun motivasinya patut dipuji, cara menggunakan firman Allah seperti ini untuk disesuaikan dengan keinginan Muhammad sangatlah instruktif.

Muhammad sangat dirisaukan oleh beberapa Penggali: Allah mengatakan kepada mereka untuk terus menggali!

Selama Perang Parit, Muhammad memerintahkan beberapa pengikutnya untuk menggali parit yang dalam di sekeliling Medinah. Sudah tentu ini adalah pekerjaan yang berat, dan beberapa dari para penggali itu meninggalkan pekerjaan mereka. Ini sangat merisaukan Muhammad. Sudah tentu, Allah kemudian campur tangan dan memperjelas bahwa mereka yang ingin meninggalkan pekerjaan itu hanya dapat melakukannya atas seijin Muhammad (Quran 24:62).

Penting bagi kita untuk melihat betapa menentramkannya wahyu-wahyu tersebut. Seperti yang telah dikemukakan, Allah tidak dapat menemukan tempat di dalam Quran untuk menginstruksikan orang-orang beriman mengenai aspek-aspek penting dan praktik-praktik dalam agama Islam seperti bagaimana berdoa, bagaimana melakukan ziarah, dan bagaimana cara melakukan pengakuan iman. Di sisi lain, ‘Quran yang kekal’ dipenuhi dengan ayat-ayat yang jelas bertujuan untuk memuluskan segala sesuatu hanya untuk satu orang. Boleh jadi, berkenaan dengan hal ini kata terakhir adalah milik Aisha (istri kesayangan Muhammad) yang berespon sebagai berikut terhadap wahyu bahwa Muhammad dapat menikahi berapapun wanita yang ia inginkan:

“Aku merasa Tuhanmu bergegas memenuhi keinginan dan hasratmu”. (Sahih Bukhari 6:60:311). Sungguh benar demikian!